PENCURIAN DALAM AL
QURAN
TAFSIR QS. AL MAIDAH:38-39
MAKALAH DISUSUN
UNTUK MEMENUHI TUGAS KULIAH TAFSIR AHKAM II
OLEH:
KRISDILLA SOPIANI 09140013
DOSEN
PEMBIMBING
Drs.
H. AHMAD MAHIR MALLAWI, MHI.
JURUSAN AL-AKHWAL
AL SYAKHSIAH
FAKULTAS SYARI’AH
IAIN RADEN FATAH PALEMBANG
2011
![]() |
PENDAHULUAN
Al quran merupakan sumber dari
segala hukum. Telah kita ketahui bahwa Al quran di samping berisi tentang
masalah keimanan, nilai-nilai moral, juga berisi tentang beberapa hal yang
terkait dengan masalah hukum. Kurang lebih sepertiga ayat Al quran membicarakan
masalah hukum, baik yang terkait dengan hubungan antara manusia dengan Allah,
maupun hal-hal yang terkait dengan hubungan antar sesama manusia.
Salah
satu hukuman yang disebutkan di dalam Al quran adalah hukuman atas pencuri sebagaimana
firman Allah di dalam Al quran surat
al-Maidah 38-39. Pencurian dalam hukum islam merupakan perbuatan tindak pidana
yang berat hukumannya, jika pencurian tersebut telah memenuhi unsur-unsur
pencurian, namun berbeda dengan tindak pidana dalam hukum positif.
Dalam
makalah ini saya akan mengupas lebih dalam tentang pandangan islam mengenai
hukum pencurian sesuai dengan ayat Al quran, yakni hukuman apa yang dikenakan
bagi pelaku pencurian menurut hukum islam, unsur-unsur apa saja yang dapat
dikenakan sanksi pencurian menurut hukum islam, dan bagaimana penerapan hukuman
tersebut, serta bagaimana hukum pencurian dalam hukum islam dan hukum positif.
PEMBAHASAN.
A.Tafsir QS. Al-Maidah 38-39
والسارق والسارقة فاقطعوا ايديهمـا جزأ بما كسبا نكالا من الله
والله عزيز حكيـم
“adapun orang
laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai)
balasan atas perbuatan yang mereka lakukan sebagai siksaan dari Allah. Dan
Allah Maha perkasa, Maha Bijaksana”
( Al Maidah:38)
Perkataan السارق والسارقة diambil dari asal katanya سرقا سرق- يسرق- yang berarti mencuri
atau diambil
dari kata سارق- سرقة- سراق- سارقة-سوارق yang berarti pencuri
Manakala
perkataan قطعوا
berasal dari kata قطع-
يقطع- قطعاyang berarti memotong atau memutuskan. Di dalam
kitab Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an disebutkan kata قطع sama maknanya juga dengan الإبانة والإزالة yang berarti menceraikan atau menghilangkan.
Kata pencurian berasal dari bahasa
arab al- sariqah. Dalam ensiklopedi
fiqh:
السرقة هى اخذ مال لا حق له فيه من خفية
“ sariqah adalah
mengambil suatu harta yang tidak ada hak baginya dari tempat penyimpanan.”
Abdul Qadir Audah mendefinisikan
pencurian sebagai tindakan mengambil harta orang lain dalam keadaan
sembunyi-sembunyi (Audah, 1992:518), yang dimaksudkan dengan mengambil
harta orang lain secara sembunyi-sembunyi adalah mengambilnya tanpa
sepengetahuan dan kerelaan pemiliknya.
Menurut kitab fiqh fathul qarib
sariqah menurut bahasa adalah
mengambil harta dengan sembunyi-sembunyi. Sedang menurut syarak ialah mengambil
harta secara sembunyi-sembunyi dan aniaya dari tempat simpanan harta itu tadi.
( Abu Amar, 1983:145)
Menurut Mahmud Syaltut pencurian
adalah mengambil harta orang lain dengan sembunyi-sembunyi yang dilakukan oleh
orang yang tidak dipercayai menjaga barang tersebut. (Djazuli, 2010:83)
Pencurian di dalam ketentuan KUHP
Indonesia ialah perbuatan mengambil suatu barang yang seluruhnya atau sebagian
kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk memiliki secara melawan hukum.
Kata curi
artinya mengambil dengan diam-diam, sembunyi-sembunyi tanpa diketahui orang
lain. Mencuri berarti mengambil milik orang lain secara tidak sah. ( Syarifin,
2000:97)
Pencurian dalam Islam merupakan
perbuatan tindak pidana yang berat dan dikenakan hukuman potong tangan apabila
harta yang dicuri tersebut bernilai satu nisab pencurian. ( Yusof, 2009:77)
Jadi, pencurian adalah mengambil
barang yang bukan miliknya dengan cara yang salah dan tidak dibenarkan di dalam
Islam.
Didalam sebuah hadis yang
berhubungan dengan firman Allah seperti yang diatas adalah:
إنما أهلك من كان قبلكم انه إذا سرق فيهم الشريف تركوه وإذا
سرق فيهم الضعيف قطعوه
“ kehancuran umat
terdahulu adalah disebabkan apabila yang mencuri adalah orang-orang terhormat,
mereka biarkan saja, sedangkan apabila yang mencuri rakyat biasa, mereka potong
tangannya.” (HR. Albukhari(Ibnu Rusyi:446)
Didahulukannya kata pencuri lelaki
dalam ayat ini, atas pencuri perempuan, dan didahulukannya pezina perempuan
atas pezina lelaki (QS. An-Nur (24): 2),
mengisyaratkan bahwa lelaki lebih berani mencuri dari pada perempuan, sedang
perzinahan bila terjadi disebabkan karena keberanian perempuan melanggar
tuntunan ilahi agar tidak menampakkan hiasan mereka, yang dapat merangsang
terjadinya pelanggaran. Para ulama menetapkan makna pencurian yang dimaksuud oleh
ayat ini di samping menetapkan sekian syarat untuk jatuhnya sanksi hukum di
atas.
Mencuri berbeda dengan korupsi,
merampok, mencopet dan merampas. Mencuri
adalah mengambil secara sembunyi-sembunyi barang berharga milik orang lain yang
disimpan oleh pemiliknya pada tempat yang wajar, dan si pencuri tidak diizinkan
untuk memasuki tempat itu. Dengan demikian, siapa yang mengambil sesuatu
yang bukan miliknya tetapi diamanatkan kepadanya, maka ia tidak termasuk dalam
pengertian mencuri oleh ayat ini, seperti jika bendaharawan menggelapkan uang.
Tidak juga jika mengambil harta, di mana ada walau sedikit dari harta itu yang
menjadi miliknya, seperti dua orang atau lebih bersyarikat dalam sebuah usaha,
atau mengambil dari uang negara. Tidak juga disebut pencuri orang yang
mengambil sesuatu dari satu tempat yang semestinya barang itu tidak terkunci,
bila dimasuki oleh seseorang lalu mengambil sesuatu yang berharga, maka yang
mengambilnya terbebaskan dari hukum potong tangan ketika itu pemilik toko atau
rumah tidak meletakkan barang-barangnya di tempat wajar, sehingga merangsang
yang lemah keberagamaanya untuk mencuri. Demikian, agama di samping melarang
mencuri, juga melarang pemilik harta membuka peluang bagi pencuri untuk
melakukan kejahatan. Alhasil hukuman ini tidak serta merta dijatuhkan, apalagi
Rasul SAW. bersabda: “hindarilah
menjatuhkan hukuman bila ada dalih untuk menghindarinya.”
Syyidina Umar Ibn al-khaththab
menegaskan: “saya lebih suka keliru tidak
menjatuhkan sanksi hukum karena adanya dalih yang meringankan dari pada
menjatuhkannya secara keliru padahal ada dalih meringankannya.” Itu
sebabnya beliau tidak menjatuhkan sanksi bagi yang mencuri pada masa krisis
atau paceklik. Tidak juga menjatuhkannya kepada sekelompok karyawan yang
mencuri seekor unta karena majikannya tidak memberikan mereka upah yang wajar.
Bahkan yang dijatuhi hukuman ketika itu oleh Umar ra. adalah sang majikan,
yakni Ibn Hathib Ibn Abi balta’ah dengan mewajibkan membayar kepada pemilik
unta yang dicuri dua kali lipat harganya.
Ini tentu bukan berarti bahwa yang
bersangkutan tidak dijatuhi sanksi sama sekali, tetapi yang dimaksud adalah
tidak menjatuhkan had yakni sanksi
hukum seperti potong tangan bagi yang mencuri, mencambuk atau merajam bagi yang
berzina dan membunuh bagi yang membunuh. Sanksi hukum yang harus ditegakkan
sebagai gantinya adalah apa yang diistilahkan dengan ta’zir, yaitu hukuman yang lebih ringan dari hukuman yang
ditetapkan bila bukti pelanggaran cukup kuat.
Ta’zir dapat berupa hukuman penjara, atau apa saja yang dinilai wajar oleh
yang berwenang. (Shihab, 2007: 93-94)
Dalam ayat 38: surat
al-Maidah ini Allah SWT. menetapkan hukum bagi pencuri yang mengambil hak orang
secara sembunyi. Pencuri pria ataupun pencuri wanita hendaknya dipotong
tangannya sampai pergelangannya. Ukuran mencuri yang boleh dipotong tangannya
menurut hadits nabi SAW.:
لا تقطع يد السارق إلا فى ربع دينار فصاعدا
“tidak dipotong
tangan pencuri, kecuali apabila(ia mencuri harta senilai)seperempat dinar
lebih.”(HR. Ahmad(Al Asqalani juz IV:18)
Pemotongan tangan menurut ketentuan hukum ini ditetapkan untuk
kemaslahatan umat. Pencurian adalah pelanggaran akan ketentuan Allah. Yang
melanggar batas, wajar mendapat hukuman, siksaan dari Allah yang maha perkasa
lagi bijaksana dalam syari’at-Nya.
Dengan
ayat tersebut diatas, seolah-olah Allah berfirman: “janganlah kalian
melebihi batas-batas hukum yang telah Aku tetapakan baik berkenaan dengan hukum
mencuri ataupun dosa-dosa besar lainnya. Potong tangan ini merupakan siksaan
dunia yang Ku tetapkan bagi pencuri berdasarkan keluasan ilmuKu yang mengandung
kemaslahatan bagi kalian dan abgi mereka.”
Syari’ah menetapkan pandangan yang
lebih realistis dalam menghukum seorang pelanggar. Tujuan dari hukuman tersebut
adalah memberikan rasa jera guna menghentikan kejahatan tersebut sehingga bisa
diciptakan rasa perdamaian dimasyarakat. Islam adalah agama yang syumul disebabkan itulah Islam amat
menjaga kepentingan umatnya. Dan setiap manusia itu ada hak pribadinya
masing-masing. Oleh itu barang siapa yang mengambil barang yang bukan
kepunyaannya dengan jalan mencuri lalu dalam agama islam telah ditetapkan hukum
had keatasnya.
Islam ingin membangun umatnya yang
sehat. Dengan tujuan membina kedamaian dalam masyarakat, maka pencurian
dianggap sebagai suatu kejahatan dan dosa yang besar. Dalam sebuah hadist nabi
SAW. seorang pencuri bukanlah orang yang beriman pada saat dia melakukan
pencurian:
عن ابن عباس رضي الله عنه أن النبي صلى الل عليه وسلم قال لا
يزنى الزانى حين يزني وهو مؤمن ولا يسرق حين يسرق وهو مؤمن
diriwayatkan
dari Ibnu Abbas bahwa sesungguhnya nabi SAW. telah bersabda:
“ketika seorang penzina
berbuat zina, maka dia bukan orang yang beriman; demikian pula tatkala seorang
pencuri melakukan pencurian, maka di waktu itu dia bukanlah orang yang
beriman.” (HR. Albukhari)
begitu juga,
seorang pencuri dilaknat oleh Allah seperti disebutkan dalam hadist berikut:
عن ابى هريرة عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: لعن الله
السارق يسرق البيضة تنقطع يده ويسرق الحبل فتقطع يده
Diriwayatkan dari Abu Hurairah
bahwa nabi SAW. Bersabda: “ Allah melaknat pencuri yang mencuri sebutir
telur, hukumannya potong tangan; dan yang mencuri tali (hukumannya juga) dipotong
tangannya.”
Dalam hadis diatas sebutir telur
dikiaskan tombak besi, sedangkan tali dikiaskan alat untuk pergi. Hadis ini
bukan menunjukkan hukuman tapi hanya menunjukkan saking beratnya pencurian itu.
Hadis tersebut menekankan untuk menjerakan kejahatan pencurian karena dari
pencurian kecil, suatu ketika kelak seorang dapat menjadi perampok besar jika
dikekang. (Rahman, 1996:75)
فمن تاب من بعد ظلمه, وأصلح فإن الله يتوب عليه إن الله
غفوررحيم
“Tetapi barang siapa bertobat setelah melakukan kejahatan itu
dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima tobatnya. Sungguh Allah
maha pengampun, maha penyayang.”(al-Maidah:
39)
Selanjutnya di dalam QS. al-Maidah ayat 39 Allah SWT. Menerangkan
keagungan nikmat-Nya dan kesempurnaan kemurahan-Nya terhadap mereka yang
berdosa, dengan menetapkan hukum bagi yang bertobat. Orang yang bertobat akan
berhenti dari perbuatan zalimnya, memperbaiki perilakunya serta berjanji tidak
akan melakukan lagi perbuatan zalim serta berbuat baik dalam pergaulan hidup
seterusnya dengan mengharap ridha Allah. Allah SWT. akan mengampuni orang yang
bertobat kepada-Nya dan tidak akan mendapat siksaan apabila diterima tobatnya. Dosa
mencuri, menyangkut hak Allah dan hak kemanusiaan. Dosa terhadap Allah dapat
dihapus apabila yang bersangkutan benar-benar taubat, sedang dosa terhadap
sesama manusia karena mencuri, akan gugur apabila barangnya dikembalikan atau
minta maaf kepada yang bersangkutan. (Rasyidi, 1989:148-149)
Apabila laki-laki dan perempuan yang mencuri itu bertobat, sudah dijatuhi
hukuman, memperbaiki hubungan dengan Allah SWT. dan menyesali apa yang sudah
diperbuatnya, Allah SWT. pasti mengampuni dosanya, menutup aibnya dan menghapus
kejahatannya dengan kebaikan. Ampunan Allah SWT. itu amat luas dan rahmatnya
meliputi segala sesuatu. Sesungguhnya Allah SWT. maha menerima tobat lagi maha
penyayang. (Al-Qarni, 2007: 513)
B. Asbabun
nuzul
Asbabun Nuzul atau sebab-sebab
turunnya ayat ini disebutkan dalam sebuah riwayat tentang suatu peristiwa
pencurian pada masa Nabi SAW. seorang lelaki mencuri gandum milik tetangganya,
mengambil dan menyimpannya di rumah seseorang. Karena karung itu sobek, maka ia
dapat dilacak. Sementara itu, si empunya mengadu kepada nabi SAW. tentang
barangnya yang dicuri serta mencurigai tetangganya yang ternyata benar. Nabi
SAW. tak menyukai hal ini bahwa mereka mencurigai tetangganya yang muslim
melakukan pencurian. Namun tatkala benar-benar terbukti bahwa karung tersebut
dicuri oleh tetangganya itu, maka dia lari kesemak belukar dan mati. Ayat Al quran
tersebut diatas diturunkan setelah peristiwa ini terjadi.
C. Unsur -
Unsur Pencurian
Ulama fiqh mengemukakan ada empat unsur
yang harus dipenuhi, sehingga tindakan pengambilan harta orang lain tersebut
sebagai tindakan pidana pencurian. Keempat unsur itu adalah:
1. Pengambilan
itu dilakukan secara diam-diam atau sembunyi-sembunyi. Artinya, pencurian
dilakukan tanpa sepengetahuan pemilik barang dan pemilik barang tidak rela
dengan pengambilan barangnya itu.
2. Yang
dicuri itu bernilai harta. Ulama fiqh mengemukakan bahwa harta yang dicuri itu
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: (Audah:543)
a. Harta
yang dicuri ialah harta bergerak.
b. Harta
yang dicuri bernilai harta menurut syara’.
c. Harta
itu terpelihara ditempat yang aman.
3. Harta
yang dicuri itu milik orang lain.
4. Pencurian
itu dilakukan secara sengaja oleh pencuri.
D. Penerapan Hukuman
Sesorang yang mencuri baru dapat
dikenakan hukuman apabila memenuhi beberapa syarat. Syarat-syarat tersebut
adalah:
1. Pelaku
tindak pidana haruslah seorang yang baligh dan berakal, karena Rasulullah SAW.
menyatakan:
رفع القلم عن ثلاث عن الصبي حتى يبلغ
وعن المجنون حتى يعقل وعن النائم حتى يحتلم
“ pembebanan hukum
diangkat dalam tiga hal, yaitu anak kecil sampai ia mimpi, orang gila sampai ia
sebuh, dan orang yang tidur sampai ia bangun.”(HR. Albukhari).
2. Harta
yang dicuri disyaratkan.
3. Pemilik
barang yang dicuri, haruslah benar-benar pemilik barang itu, atau barang itu
merupakan amanah ditangannya.
4. Tempat
pencurian haruslah diwilayah yang didalamnya berlaku hukum Islam.
E. Alat Bukti
Dalam Pidana Pencurian
Untuk menetapkan hukuman pencurian
dihadapan hakim, diperlukan alat dan bukti yang dapat membuktikan bahwa tindak
pidana pencurian itu benar-benar terjadi. Alat bukti dalam tindak pidana
pencurian adalah saksi dan pengakuan. ( Yusof, 2009:80)
Untuk saksi
disyaratkan:
1. Dua
orang pria
2. Orang
yang adil
3. Saksi
yang menyaksikan pencurian secara langsung
4. Kesaksian
yang diberikan tidak kadaluarsa.
5. Gugatan
diajukan oleh orang yang berhak menggugat
Adapun kesaksian
wanita dalam kasus pencurian, sekalipun jumlahnya empat orang (ganti dua orang
pria) atau lebih, atau satu laki-laki dan dua orang wanita, menurut jumhur
ulama tidak diterima kesaksian mereka adalah:
واستشهدوا شهيدين من رجالكم......
“dan persaksikanlah
dengan dua orang saksi dari laki-laki.”(al Baqarah:282)
Imam Abu Hanifah dalam penafsirannya
lebih liberal dalam memberikan hukuman had
pada kasus pencurian sebagaimana dapat dilihat dari perbandingan pendapat
beberapa mazhab hukum islam berikut ini.
Kalau seorang ayah mengmbil harta
anaknya maka hukuman had potong
tangan tak dapat dikenakan, menurut Imam Abu Hanifah. Imam Malik berkata bahwa
hukuman itu tetap dapat dikenakan kepada si ayah dalam kasus seperti itu. Bila
suatu barang dicuri secara bersama-sama oleh beberapa orang sekalipun nilainya
mencapai nisab, maka tak seorang pun yang akan dihukum potong tangan, begitu
juga jika salah satu pasangan suami istri mengambil milik yang lainnya, menurut
Imam Abu Hanifah tak aka nada hukuman had, tetapi imam Malik berkata
bahwa hukuman itu harus dikenakan. Andaikan saudara atau paman sesoarang
mencuri hartanya, imam Syafi’i, imam Ahmad bin Hanbal dan imam Malik berkata
bahwa hukuman had harus dikenakan kepada
si pelaku, tetapi imam Abu Hanifah berpendapat bahwa tak ada hukuman had terhadap
saudara dekat seperti itu. (al-Jashash,juz II,1993:602)
F.
Pencuri Yang Tidak Boleh Dikenakan Hukuman Kesalahan Sariqah
Pencuri yang tidak boleh dikenakan hukuman kesalahan sariqah ialah:
1)
Pencurian yang dilakukan secara khianat, yaitu orang yang mengambil harta atau
barang yang diamanahkan kepadanya. Mereka yang melakukan kesalahan tersebut
tidak boleh didakwa dibawah kasus sariqah
(mencuri) dan tidak boleh dikenakan hukuman hudud,
tetapi mereka itu hendaklah didakwa di bawah kasus kesalahan korupsi yang wajib
dikenakan hukuman takzir. (al-Jashash,
juz II,1993:586)
2)
Orang yang mengambil harta atau barang orang lain dengan cara paksaan dan
kekerasan.
3) Orang yang menyambar barang orang lain sambil lalu, yaitu semasa berjalan atau atas kendaraan, termasuk juga pencopet.
3) Orang yang menyambar barang orang lain sambil lalu, yaitu semasa berjalan atau atas kendaraan, termasuk juga pencopet.
4)
Pencurian berlaku di medan
peperangan.
5)
Mengambil buah yang tergantung di atas dahannya karena sangat lapar dan dahaga.
G.
Hukuman karena kesalahan mencuri
Siapa yang melakukan
kesalahan mencuri wajib dikenakan hukuman hudud
sebagaimana yang dikehendaki oleh hukum syara’.
1)
Mencuri kali pertama hendaklah dipotong tangan
kanannya.
2)
Mencuri kali yang kedua hendaklah dipotong kaki
kirinya dan,
3)
Mencuri kali ketiga dan berikutnya hendaklah
dikenakan hukuman takzir dan dan dipenjarakan sehingga ia terbunuh.
H. Kontekstualisasi
Ayat dengan Kehidupan Sekarang
Hukum islam vs hukum positif memang sangat bertentangan, hukuman
pencurian yang telah tertulis dalam kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) di
Indonesia yaitu bahwa bararangsiapa mengambil barang sesuatu yang seluruhnya,
atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan
hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun
atau pidana denda paling banyak Sembilan ratus rupiah. Sedangkan sanksi
pencurian dalam hukum Islam dikenai hukuman potong tangan jika harta yang
dicuri telah mencapai seperempat dinar. Di Indonesia saat ini sangat sulit
untuk menerapkan hukum Islam karena Indonesia terdapat 5 agama yang hukumnya
sulit disatukan, kemudian para pembuat hukum di Negeri ini juga belum baik
karena mereka membuat aturan untuk kepentingan mereka pribadi tanpa memikirkan
kemaslahatan umat manusia. Tetapi juga tidak menutup kemungkinan suatu saat Negara
ini bisa menerapkan hukum Islam karna tak ada hukum yang lebih baik kecuali
hukum buatan Allah. Untuk itu kita membutuhkan sosok pemimpin yang mampu
menegakkan syariat-syariat Allah. Hukuman
Mati dan Potong Tangan Bagi Koruptor adalah Sanksi berat, baik potong tangan
maupun hukuman mati untuk pelaku tindak pidana korupsi adalah tidak berlebihan.
Hal ini harus menjadi pertimbangan serius bagi para pengambil keputusan dan
penegak hukum. Berikut beberapa hal yang dapat diperhatikan:
1. Potong tangan adalah hukuman
yang efektif karena memenuhi 3 unsur, yaitu kemudahan pelaksanaan, biaya murah,
dan memberikan efek jera (lihat Abu Bakar Ba’asyir dalam (http://www.antara.co.id/view/?i=1181133540&c=NAS&s).
Potong tangan menimbulkan efek
jera karena selain disaksikan masyarakat luas, juga diumumkan oleh negara
(contohnya: bahwa si A sudah dipotong tangan karena korupsi sekian Milyar,
dicantumkan dalam koran nasional). Potong tangan juga tidak serampangan dalam
penerapannya. Harus melibatkan tenaga kesehatan seperti dokter dan perawat yang
sigap untuk mengobati luka akibat potong tangan.
2. Kejahatan Korupsi luar biasa
efek buruknya bagi bangsa dan negara serta lintas generasi yang menanggung
akibat korupsi. Sehingga tidak tepat mengkaitkan hukuman potong tangan dan
hukuman mati dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Maka kita lontarkan
pertanyaan kepada mereka yang mengatakan potong tangan melanggar HAM: “Dimana
hak asasi kita-kita yang “terpaksa” menanggung malu dan hutang serta berbagai
kerugian seperti kemiskinan, kesulitan hidup, kesempitan lapangan kerja, dan
lain sebagainya, akibat kelakuan para koruptor???”
Perlu diketahui, bahwa potong tangan menimbulkan kewajiban negara mengobati luka sampai sembuh. Hukuman mati juga memiliki pertimbangan kemanfaatan, khususnya bagi keluarga yang ditinggalkan.
Perlu diketahui, bahwa potong tangan menimbulkan kewajiban negara mengobati luka sampai sembuh. Hukuman mati juga memiliki pertimbangan kemanfaatan, khususnya bagi keluarga yang ditinggalkan.
Sehingga tidak serta merta
diterapkan. (lihat kasus dizaman Khalifah Umar Ibnu Khattab dimana tidak
diterapkan potong tangan bagi seorang pencuri miskin kelaparan dan yang butuh
makan bagi keluarganya). Sehingga penerapan potong tangan dan hukuman mati
adalah selektif kepada mereka yang secara meyakinkan terbukti memperkaya diri
dengan korupsi. Dan mungkin bisa dibatasi, dengan menerapkan batas minimal
uang/harta yang dikorupsi untuk dapat diancam pidana potong tangan.
3. Apabila potong tangan dan
hukuman mati diterapkan, maka negara tidak perlu lagi pusing-pusing
mengeluarkan biaya makan untuk para tahanan korupsi. Biaya lebih murah bisa
didapatkan. Lagipula, apabila tetap dengan hukuman tahanan seperti selama ini,
nanti mereka bisa keluar setelah sekian tahun menjalani masa tahanan, bahkan
bukan tidak mungkin akan korupsi lebih canggih dari sebelumnya.
Pemerintah dalam hal ini
Depkumham butuh dana Rp8000 per sekali makan bagi tahanan. Jika terpidana
korupsi divonis 10 tahun saja maka Depkumham harus mengeluarkan dana Rp8.000 x
3 kali makan x 10 tahun x 365 hari.Totalnya, Rp87.600.000. Itu untuk satu
koruptor, kalau semakin banyak negara makin boros padahal uangnya bisa
digunakan bagi subsidi rakyat miskin. (lihat Fauzan Al-Anshary dalam: http://iriantosyahkasim.multiply.com/reviews/item/45)
4. Pidana mati untuk koruptor di
Indonesia bisa diberlakukan, bila mengacu kepada UU RI No. 20 Tahun 2001
tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
Pasal 2 Ayat 2 menyebutkan Dalam
hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam
keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. Yang dimaksud dengan keadaan
tertentu adalah apabila tindak pidana korupsi itu dilakukan bila keadaan negara
dalam bahaya, bencana alam nasional, pengulangan tindak pidana korupsi, atau
pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.
5. Pidana mati dan potong tangan
sejalan dengan syariah Islam, dan karena hukum Islam menjadi salah satu sumber
hukum positif, maka seharusnya penerapan pidana mati dan potong tangan bagi
koruptor harus dipertimbangkan. Walaupun sebagian ahli fikih memperdebatkan
masalah perbedaan antara korupsi dan pencurian, serta hukumannya, maka
sebenarnya dalam hukum Islam dikenal adanya takzir,
yaitu hukuman yang semua ketentuannya ditetapkan oleh hakim. Meski tetap
mengacu kepada syariat dari Allah SWT. juga. Namun khusus untuk hukuman takzir, hakim mendapatkan hak lebih
besar untuk menentukan bentuk dan beratnya hukuman. Apabila kita jeli
memanfaatkan “celah” ini, maka perdebatan fikih tidak perlu ada. Apabila
dianggap korupsi tidak sama dengan mencuri, maka kita bisa manfaatkan takzir dan menerapkan hukuman mati atau
potong tangan bagi koruptor.
6. Perlunya UU Mahkamah Syariah
dan UU Pemberantasan Korupsi yang disempurnakan dengan sanksi hukuman potong
tangan. Aneh apabila kita selalu mendalilkan dengan KUHP buatan penjajah
Belanda yang sudah basi itu karena usia yang sudah lapuk dimakan zaman.
UU Pembuktian Terbalik juga harus kembali diperjuangkan, sepeninggal mantan Kejakgung Prof. Baharuddin Lopa, maka kita kesulitan untuk kembali memperjuangkan UU itu yang katanya berhenti di DPR. Dasar Pembuktian Terbalik bisa kita temukan pada sikap Khalifah Umar Ibnu Khattab yang Khalifah yang kedua ini (634-644) mendapat inspirasi dari pertanyaan Nabi Zakaria AS kepada Maryam binti ‘Imran:
UU Pembuktian Terbalik juga harus kembali diperjuangkan, sepeninggal mantan Kejakgung Prof. Baharuddin Lopa, maka kita kesulitan untuk kembali memperjuangkan UU itu yang katanya berhenti di DPR. Dasar Pembuktian Terbalik bisa kita temukan pada sikap Khalifah Umar Ibnu Khattab yang Khalifah yang kedua ini (634-644) mendapat inspirasi dari pertanyaan Nabi Zakaria AS kepada Maryam binti ‘Imran:
– ya- maryamu anna- laki
ha-dza-, artinya:
– Hai Maryam dari mana kamu
memperoleh ini?
Ayat (3:37)
tersebut diaplikasikan oleh Khalifah ‘Umar ibn Khattab Radhiyallahu Ta’ala Anhu
kepada aparat kekhalifahan, anna laka hadza. Sejak itu anna laka
hadza menjadi jurisprudensi dalam Hukum Islam, yaitu terdakwa korupsi
harus membuktikan kebersihan dirinya, jadi sebaliknya dengan sistem hukum yang
kebanyakan dianut di seluruh dunia, yaitu jaksa yang harus membuktikan
kesalahan terdakwa, yang filosofinya katanya berlandaskan pada “praduga tidak
bersalah”. Padahal korupsi yang sudah parah membudaya ini haruslah dipakai
sistem terbalik anna laka hadza, praduga bersalah. Contohnya oknum
Jaksa UTG yang gajinya hanya Rp 3,5-juta sebulan dapat memiliki mobil sampai 4
buah. Hanya saja kita harus hati-hati dalam hal penterapan sanksi potong tangan
itu. Secara fikih, sanksi harus selalu dibarengi dengan adanya pengamanan yang
cukup terhadap perbuatan-perbuatan yang akan dikenai sanksi tersebut. Dalam
arti masyarakat dan negara telah memberikan kepada pelaku perbuatan-perbuatan
tersebut kesempatan untuk memenuhi kebutuhannya dengan cara-cara yang halal
serta menutup peluang-peluang terjadinya cara-cara yang tidak halal. Kedua,
terdapat grey area (daerah batas
abu-abu) antara perbuatan korupsi dengan kesalahan administratif. Dalam hal ini
di situlah letak pentingnya anna laka hadza, apakah kesalahan admintratif itu memperkaya diri si
pelaku atau tidak. (http://cetak.fajar.co.id/kolom/print.php?newsid=857).
7. Penerapan potong tangan bisa
dimulai dengan Aceh. Qanun yang mengatur hal ini harus segera dijadikan
prioritas pemerintah. Jika para pelaku koruptor itu sudah dikenai hukuman
potong tangan, maka diharapkan bisa menjadi obat mujarab agar orang-orang lain
tidak ikut-ikutan makan harta haram. (lihat: Dr. Mohammad Nasir Arafat
(intelektual Aceh) dalam Koruptor Perlu Dihukum Potong Tangan).
8. Selain membenahi
masing-masing individu, ciptakan kesadaran dalam keluarga. Efek jera dari hukum
harus tetap dilakukan, karena manusia adalah makhluk lemah yang mudah terjebak
rayuan setan dan kondisi yang memungkinkan untuk berbuat jahat. Sehingga hukum
yang memberi keadilan bagi korban korupsi, yaitu kita-kita rakyat Indonesia,
harus menjadi pertimbangan serius penguasa negeri. Keseriusan pemberantasan
korupsi akan memberikan kepercayaan kepada masyarakat bahwa di negara kita
hukum dapat ditegakkan dan masih ada perlindungan bagi rakyat. Masak Malaysia dan Singapura serta China bisa, kita ga bisa???
KESIMPULAN
Dalam pembahasan ini dapat disimpulkan
bahwa pencurian adalah mengambil barang yang bukan miliknya dengan cara yang
salah dan tidak dibenarkan di dalam Islam. Di dalam Al quran telah ditegaskan
hukuman bagi pencuri ialah potong tangan, sedangkan penggelapan dikenakan
hukuman ta’zir dan hal ini tentu menjadi wewenang hakim dalam penjatuhan
hukuman tersebut. Pada pencurian dikenal ukuran-ukuran tertentu yang
mengakibatkan jatuhnya hukuman had. Adapun pada kasus penggelapan tidak
dikenal ukuran-ukuran tertentu sejauh mana penggelapan tersebut harus dikenakan
hukuman. Sesorang yang mencuri baru dapat dikenakan hukuman apabila telah
memenuhi beberapa syarat penerapan hukuman.
Dalam hukum positif tidak diberlakukan hukum potong tangan karena Negara
kita masih mengadopsi hukum belanda serta hukum kita ini dibuat oleh manusia
yang mana semata-mata dibuat untuk kepentingan manusia itu sendiri, lain halnya
jika kita mengikuti hukum Allah yang dibuat untuk kemaslahatan umat manusia, namun
berbeda dengan Daerah Istimewa Aceh yang telah menegakkan hukum Islam.
Islam adalah agama yang adil dalam
memberikan solusi yang tegas bagi para pelaku pencurian maupun korupsi, ajaran
Islam meletakkan hukum pidana Islam sebagai obat terhadap masyarakat yang
sedang sakit, setidaknya mengurangi penyakit masyarakat seperti kasus-kasus
korupsi di Negara ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abu amar,
imron. 1983. Fathul Qarib Jilid II. Kudus: Menara Kudus
Al-Jashash.
1993. Ahkamul Quran. Lubnan:Darul Fikr
Al-Qarni,
Aidh. 2007. Tafsir Muyyasar. Jakarta: Qisthi Press
Al- Qurthubi.
Al- Jami’ Li Ahkamil Quran
Hakim,
Rahmat. 2010. Hukum Pidana Islam( Fiqh Jinayah). Bandung: CV Pustaka Setia
Idoi, A.
Rahman. 1996. Hudud dan Kewarisan. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada
Rasyidi,
Anwar. 1989. Terjemah Tafsir Al- Maraqhiy. Semarang:
Toha Putra Semarang
Shihab, M. Quraish.
2007. Tafsir Al Misbah. Jakarta: Lentera Hati
Solahuddin.
2009. KUHP, KUHAP, & KUHptd. Jakarta:
Visimedia
Surya Admaja,
Dwi. 1999. Al Muwatta’Imam Malik. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada
Yusuf, Imaning.
2009. Fiqh Jinayah. Palembang:
Rafah Press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar