FIQH KONTEMPORER
NIKAH SIRRI
MAKALAH INI DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH FIQH
KONTEMPORER
Dosen pengampuh
DR. MUHAMMAD ADIL, M.A.
Disusun oleh:
KRISDILLA SOPIANI 09140013
JURUSAN AL AKHWAL AKHSYAKSIYAH
FAKULTAS SYARI’AH
IAAN RADEN FATAH PALEMBANG
TAHUN AKADEMIK 2011
PENDAHULUAN
Dalam Islam, nikah merupakan salah satu syariat yang diajukan oleh
Rasulullah SAW.Pernikahan merupakan Syari’at Tuhan untuk mengatur hubungan
laki-laki dan perempuandalam suatu pergaulan keluarga yang penuh kasih sayang
dan berkah. Islam menyebut perkumpulan yang penuh cinta dan kasih sayang itu
dengan ungkapan bahasa mawaddahwa rahmah.
Ditegaskan pula bahwa disyariatkannya nikah mempunyai hikmah yang
nyata,guna kebaikan dan kemakmuran bumi, yaitu dengan cara menetapkan keturunan
danmemiliki istri khusus untuk suami. Dan disebutkan juga, tujuan pernikahan
secara umum adalah untuk menghindari zina dan pergaulan bebas. Maka pernikahan
dilaksanakan secaraterang-terangan di depan para saksi dan tidak dilaksanakan
secara sembunyi-sembunyi.Karena hal itu menyangkut hubungan dengan masalah
keturunan dan nasab.Realitas di dalam masyarakat Islam sering terjadi nikah
sirri (tidak terang-terangan).
Dan oleh sebagian masyarakat dipandang sebagai perkawinan yang sah
menurut agama, tetapi belum sah menurut Undang-undang Negara. Tetapi karena
sudah sah menurut agama, maka bagi mereka (pelaku nikah sirri) tidaklah
masalah, toh halal dan haram adalah ketentuan Allah, bukan ketentuan manusia.
Dan nikah yang mensyaratkan dicatat adalah peraturan yang dibuat oleh manusia. Selanjutnya,
ketika muncul Rancangan Undang-Undang yang mengatur tentang hukuman bagi pelaku
pernikahan sirri, seperti disebutkan dalam Pasal 143: Barang siapa melakukan
pernikahan tidak di hadapan pejabat pencatat nikah (sirri) akan didenda Rp 6
juta atau hukuman paling lama 6 bulan penjara. Banyak komentar dari masyarakat
antara yang setuju dan yang menolak RUU tersebut untuk disahkan. Dalam makalah
ini saya akan menguraikan tentang nikah sirri dalam perspektif fiqh islam dan
hukum positif.
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Pernikahan
Ta’rif pernikahan ialah akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi
hak dan kewajiban serta tolong menolong antara seaorang laki-laki dan seorang
perempuan yang bukan mahram.
Nikah adalah salah satu asas pokok hidup yang paling utama dalam
pergaulan atau masyarakat yang sempurna. Pernikahan itu bukan saja merupakan
satu jalan yang amat mulia untuk
mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan, tetapi juga dapat dipandang
sebagai satu jalan menuju pintu perkenalan antara suatu kaum dengan kaum lain,
dan perkenalan itu akan menjadi jalan untuk menyampaikan pertolongan antara
satu dengan yang lainnya.
Sebenarnya pertalian nikah adalah
pertalian yang seteguh-teguhnya dalam hidup dan kehidupan manusia, bukan saja
antara suami istri dan keturunannya, melainkan antara dua keluarga.
Dalam pada itu, faedah yang terbesar dalam pernikahan adalah untuk
menjaga dn memelihara perempuan yang bersifat lemah itu dari kebinasaan, sebab
seorang perempuan, apabila ia sudah menikah, maka nafkahnya (biaya hidupnya)
wajib ditanggung oleh suaminya.
Pernikahan juga berguna untuk memelihara kerukunan anak cucu (keturunan), sebab kalau tidak dengan nikah,
tentulah anak tidak berketentuan siapa yang akan mengurusnya dan siapa yang
bertanggung jawab atasnya. Nikah juga dipandang sebagai kemaslahatan umum,
sebab kalau tidak ada pernikahan, tentu manusia akan menurutkan sfat
kebinatangan, dan dengan sifat itu akan timbul perselisihan, bencana, dan
permusuhan antara sesamanya, yang mungkin juga sampai menimbulkan pembunuhan
yang mahadahsyat.
Oleh sebab itu, syariat islam
mengadakan beberapa peraturan untuk menjaga keselamatan pernikahan ini. Tetapi
sebelum menerangkan syarat-syarat dan rukunnya, begitu juga kewajiban dan hak
masing-masing antara suami istri, terlebih dahulu akan diuraikan tujuan
pernikahan dalam anggapan yang berlaku dalam kehendak manusia. Telah berlaku
anggapan kebanyakan pemuda dari dahulu sampai sekarang, mereka ingin menikah
karena beberapa sebab, diantaranya:
- karena mengharapkan harta benda.
- karena mengharapkan kebangsawanannya
- karena ingin melihat kecantikannya
- karena agama dan budi pekertinya yang baik
1. Hukum
Nikah
- jaiz (diperbolehkan), ini asal hukumnya
- sunat, bagi orang yang berkehendak serta mampu memberi nafkah dan lai-lainnya
- wajib, bagi orang yang mampu memberi nafkah dan dia takut akan tergoda pada kejahatan (zina)
- makruh, bagi orang yang tidak mampu memberi nafkah
- haram, bagi orang yang berniat akan menyakiti perempuan yang dinikahinya.
2. Rukun
Nikah
- Sigat (akad), perkataan dari pihak perempuan, seperti kata wali,” saya nikahkan engkau dengan anak saya bernama….” (1) jawab mempelai laki-laki,” saya terima menikahi….”(1) boleh juga didahului oleh perkataan dari pihak mempelai, “ nikahkanlah saya dengan anakmu.” jawab wali,” saya nikahkan engkau dengan anak saya….”(1) karena maksudnya sama. Tidak sah nikah kecuali dengan lafaz nikah.
- wali(wali si perempuan).
- Dua orang saksi. (Sahrani, Tohari. 2010: 11-12)
3. Tujuan Pernikahan
Allah
SWT mensyari’atkan perkawinan dalam islam untuk mencapai tujuan-tujuan mulia,
diantaranya:
1. Menjaga
Keturunan
Dengan perkawinan yang sah,
anak-anak akan mengenal ibu, bapak dan nenek
(Syakir, Muhammad Fu’ad. 2002: 11)
moyangnya,
mereka merasa tenang dan damai dalam masyarakat, sebab keturunan mereka jelas,
dan masyarakatpun menemukan kedamaian, karena tidak ada dari anggota mereka
mencurigakan nasabnya.
Sebagaimana hal ini terjadi pada
kelompok masyarakat yang rusak, yang disebabkan dekadensi moral, free sex dan
prilaku-prilaku menyimpang, anak-anak yang tidak mengetahui nasab keturunannya,
akan merasa hina dan tidak berguna.
2. Menjaga Wujud
Manusia
Tanpa perkawinan yang sah, tidak
akan langgeng wujud manusia di muka bumi ini, sedangkan dengan perkawinan,
manusia berkembang biak melalui lahirnya anak laki-laki da perempuan. Allah SWT
menerangkan tujuan-tujuan perkawinan kepada kita, dalam firman-Nya:
“Allah menjadikan bagi kamu istri-istri dari
jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu anak-anak
dan cucu-cucu.” (QS. An-nahl: 72)
3. Mengarahkan Penyaluran Kebutuhan
Biologis
Islam
menyeru pengikutnya untuk melaksanakan perkawinan yang sah apabila mereka telah
mampu dan memenuhi persyaratan, oleh sebab itu islam menghalangi tingginya
mahar dalam perkawinan dan mengajak untuk memudahkan jalan menuju perkawinan,
Rasulullah SAW bersabda:
Artinya:
“wahai
para pemuda siapa yang
sanggup diantara kamu memikul beban perkawinan maka kawinlah dan siapa tidak
sanggup maka berpuasa(menahan diri) maka sesungguhnya itu obat penahan syahwat
baginya” (HR. Muttafaq’alaih)
(Syakir, Muhammad Fu’ad. 2002: 11-13 )
4. Melindungi masyarakat dari
Dekadensi Moral dan Perilaku Menyimpang
Kelompok
masyarakat yang berpegang teguh dengan norma-norma mulia serta menjauhi
perbuatan keji dan kotor, senantiasa mengutamakan pembangunan pilar-pilar
keluarga bahagia, pada gilirannya akan melahirkan anak-anak yang berguna bagi
Negara dan umat serta bagi kemanusiaan itu sendiri yang selalu tunduk dengan ketentuan-ketentuan
agama serta ikatan-ikatan syariat. Sehingga dapat terjauh dari perilaku
menyimpang dan kebebasan seksual.
5. Menumbuhkan Perasaan Kasih
Sayang dan Kebersamaan
Perasaan
kasih saying dan kebersamaan tidak akan terealisasi tanpa perkawinan yang sah,
sang suami akan merasa terikat dengan keluarganya, merasakan kedamaian dan
ketenangan, pada saat dia pulang dari kerja dengan segala kelelahan dan
kerumitan, ia menemukan ketentraman, kesejukan dan kelapangan dalam
keluarganya.
6. Menciptakan Rasa Kebapakan dan
Keibuan
Menumbuhkan rasa kebapakan dan memurnikan rasa
keibuan, sehingga terwujudlah tradisi saling tolong-menolong antara suami istri
dalam mendidik anak untuk mencapai kebahagiaan. (Syakir, Muhammad Fu’ad. 2002: 13-15)
B. Nikah Sirri
1. Pengertian
Nikah
Sirri berasal dari bahasa Arab, yaitu Nikah al-Sirri (tarkib idhafi) atau al-nikah
al- sirri (tarkib washfi). Secara etimologis berarti nikah secara
sembunyi-sembunyi atau rahasia.
Nikah sirri menurut fiqh. Menurut pandangan ulama, nikah sirri terbagi
menjadi dua: Pertama :
Dilangsungkannya pernikahan suami istri tanpa kehadiran wali dan saksi-saksi,
atau hanya dihadiri wali tanpa diketahui oleh saksi-saksi. Kemudian pihak-pihak
yang hadir (suami-istri dan wali) menyepakati untuk menyembunyikan pernikahan
tersebut. Menurut pandangan seluruh ulama fiqih, pernikahan yang dilaksanakan
seperti ini batil. Lantaran tidak memenuhi syarat pernikahan, seperti
keberadaan wali dan saksi-
saksi. Ini bahkan termasuk nikah sifâh
(perzinaan) atau ittikhâdzul-akhdân (menjadikan wanita atau lelaki sebagai
piaraan untuk pemuas nafsu). Kedua :
Pernikahan terlaksana dengan syarat-syarat dan rukun-rukun yang terpenuhi,
seperti ijab, qabul, wali dan saksi-saksi. Akan tetapi, mereka (suami, istri,
wali dan saksi) satu kata untuk merahasiakan pernikahan ini dari telinga
masyarakat. Jumhur ulama memandang pernikahan seperti ini sah, tetapi hukumnya
dilarang. Sebab, suatu perkara yang rahasia, jika telah dihadiri dua orang atau
lebih, maka sudah bukan rahasia lagi. Dilarang, karena adanya perintah Rasul
Saw untuk walimah dan menghilangkan unsur yang berpotensi mengundang
keragu-raguan dan tuduhan tidak benar. Sedangkan kalangan ulama Malikiyah
menilai pernikahan yang seperti ini batil. Karena maksud dari perintah untuk
menyelenggarakan pernikahan adalah pemberitahuan, dan ini termasuk syarat sah
pernikahan.
Terminologi Nikah Sirri di Indonesia:
- Dalam konteks masyarakat Indonesia, definisi nikah sirri ada beberapa versi:
- 1. Pernikahan yang dipandang sah dari segi agama (Islam), namun tidak didaftarkan ke KUA (selaku lembaga perwakilan negara dalam bidang pernikahan).
- 2. Pernikahan yang dilakukan tanpa kehadiran wali dari pihak perempuan.
- 3. Pernikahan yang sah dilakukan baik oleh agama maupun secara negara (juga tercatat di KUA), namun tidak disebarluaskan (tidak diadakan walimah/resepsi).
- Nikah sirri yang banyak dilakukan oleh masyarakat Muslim Indonesia yaitu pernikahan yang sah namun tidak didaftarkan ke KUA. Dalam konteks ini terminologi yang tepat adalah Nikah Sirri = Zawaj ‘Urfi = Nikah dibawah tangan.
Pendapat lain:
a. Nikah siri
adalah perkawinan yang dilaksanakan secara fiqh (sudah memenuhi syarat (http://muslimah.or.id/fikih/nikah
sirri.html)
dan rukun yang ditetapkan agama) tanpa sepengetahuan PPN dan
tidak dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ini
berdasarkan Pasal 2 Ayat (1) dan (2) UU No. 1 Tahun 1974.
b. Nikah siri adalah akad
perkawinan tanpa dihadiri para saksi kecuali seorang perempuan dan seorang
laki-laki, sebagaimana komentar Umar. Dalam hal ini para fuqaha telah sepakat
melarang nikah siri. Ibnu Rusyd berpendapat, nikah siri merupakan akad
pernikahan yang dihadiri saksi namun mereka merahasiakannya.
2. Faktor-faktor
Pendorong Nikah sirri
a. Faktor Normatif
Adanya dasar dari al-Qur’an dan al-Hadis yang mengatur tentang seseorang
untuk melakukan nikah sebagaimana Firman Allah SWT:
“Dan
kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba
sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan.”(QS. an-Nuur:
32)
Juga di dalam
hadis Nabi SAW:
“Hai kaum pemuda barang siapa diantara
kalian mampu menyiapkan bekal bahwa sesungguhnya nikah dapat menjaga
penglihatan dan memelihara farji. Barang siapa tidak mampu maka hendaklah ia
berpuasa karena puasa dapat menjadi benteng.”
Sudah barang
tentu yang namanya perintah itu harus diperhatikan oleh siapapun yang terbebani
oleh perintah itu.Terdorong perintah tersebutlah kemudian seseorang ingin
menikah. Namun karena sesuatu hal yang belum bisa dipenuhi, maka nikah sirri (http://muslimah.or.id/fikih/nikah
sirri.html)
menjadi jalan
keluar untuk melaksanakan perintah tersebut.
b. Faktor Ekonomi
Batasan kemampuan orang yang layak kawin disini mempunyai pengertian yang
cukup luas. Tentu tidak hanya kemampuan bersetubuh dengan istrinya saja, tetapi
sudah pasti kemampuan untuk membebani nafkah lahir, seperti pangan, sandang, papan,
dan sebagainya. di samping mengandung pengertian mampu bersetubuh, juga mampu
membiayai kebutuhan hidup. Sehingga faktor ekonomi merupakan bagian penting
dalam pernikahan, sebagai sarana untuk mencapai kebahagiaan yang diharapkan di
sebuah pernikahan. Masalah ekonomi dalam hal ini, pemberian nafkah, kaum
muslimin sepakat bahwa perkawinan merupakan salah satu sebab yang mewajibkan
pemberian nafkah. Hal ini sesuai dengan firman allah SWT:
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian
kepada para ibu dengan cara ma’ruf.”(QS.
Al-Baqarah: 233)
Juga dijelaskan
dalam firman Allah yang lain:
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum
wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas
sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan
sebagian dari harta mereka.”(QS. An-Nisa’: 34)
Makna ayat di
atas bila diperhatikan, selain berbicara tentang sejauh mana kekuatan laki-laki
terhadap istrinya, juga sejauh mana nafkah yang merupakan tanggung jawab seorang
suami yang harus diberikan kepada istri, kaitannya dengan ekonomi rumah tangga.
Sehingga seorang suami mampu menyelesaikan kebutuhan rumah tangganya. (http://muslimah.or.id/fikih/nikah
sirri.html)
Namun kenyataan
yang mendorong seseorang melakukan nikah sirri dalam faktor ekonomi adalah
ketidakmampuan biaya pada proses pengurusan untuk nikah resmi. Meskipun alasan
ini dibantah oleh pihak PPN, yang menyatakan bahwa biaya nikah tidak semahal
yang mereka bayangkan. Dalam beberapa kasus, yang terjadi adalah mereka melakukan
nikah sirri dengan alasan belum ada biaya, tapi setelah ditelusuri, yang dimaksud
biaya disini bukan biaya untuk proses pengurusan, tetapi biaya proses walimah, yang
di beberapa tempat walimah sangat menentukan gengsi dari keluarga yang menikahkan
anaknya, baik dari pihak laki-laki maupun pihak perempuan.
c. Faktor Konflik
Faktor konflik merupakan bagian dari persoalan psikologis (kejiwaan
seseorang). Bentuk- bentuk konflik beraneka ragam. Ini terjadi karena orang
yang akan melakukan nikah secara resmi terbentur dengan syarat-syarat dan rukun
pernikahan, terutama pada proses pengajuan untuk poligami, perizinan dan
kesepakatan sebagai syarat pelaksanaan nikah secara resmi. Sebagai bentuk
konflik diantaranya, calon mempelai tidak cocok dengan prilaku orang tua calon
mempelai yang satunya. Ternyata yang terjadi, orang tua tidak menyetujui
perkawinan anak yang telah jatuh cinta, akhirnya anak pergi ke daerah lain untuk
nikah siri.
Bentuk konflik yang lain adalah dua orang yang sudah saling jatuh cinta
dan keduanya masih menempuh pendidikan (misalnya masih kuliah), untuk
menghindari perbuatan zina karena kedekatan mereka, maka mereka melakukan nikah
sirri sebagai usaha agar hubungan mereka yang jika dilakukan sebelumnya bisa
jadi zina maka dengan nikah sirri hubungan mereka jadi tidak zina lagi.
3. Tinjauan
Nikah Sirri dalam Fiqh Islam
Dari aspek hukum fiqh, sebenarnya hukum nikah sirri sudah dianggap sah
selama memenuhi kriteria rukun dan syarat-syarat pernikahan, seperti ada kedua
calon pengantin, wali, dua saksi, serta ada ijab-qabul
Dalam makalah
ini yang menjadi titik persoalan adalah hukum tidak mencatatkan nikah kepada
petugas PPN yang imbasnya adalah pernikahan tersebut tidak diakui oleh (http://muslimah.or.id/fikih/nikah
sirri.html)
pemerintah dan
tidak mendapatkan surat
nikah. Konskuensinya adalah tidak mendapatkan akses yang berkenaan dengan
administrasi, seperti mengurus perceraian, perwarisan, perwalian, dan
lain-lain. Hal di atas tentunya tidak sesuai dengan kemaslahatan yang hendak
dituju oleh hukum syar’i, yaitu kemaslahatan hakikiyah.
.Firman Allah
SWT:
“Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan
untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”(QS. Al-Anbiya: 107)
Kemaslahatan harus diwujudkan untuk melindungi kemurnian agama, keselamatan
jiwa, keturunan, dan untuk melindungi harta. Menegakkan hukum perkawinan Islam
merupakan untuk menjaga kelestarian dan kemurnian agama, kelestarian hidup
manusia, kemurnian keturunan, dan lain sebagainya. Tujuan pencatatan nikah dimaksudkan untuk mewujudkan ketertiban
perkawinan umat manusia jelas akan membawa kepada kemaslahatan umat itu
sendiri. Kemaslahatan yang dikehendaki Islam mempunyai ciri sebagai
berikut: menarik manfaat, menolak segala yang merusak, mempunyai daya tangkal
terhadap kemungkinan bahaya dari luar atau menghambat segala sesuatu yang
menjadi jalan kerusakan, dan dapat mengikuti perkembangan dan perubahan zaman. Sebab
ada tidaknya hukum selalu mengikuti argumentasi (illat ).
Realitas yang ada dalam masyarakat berjalan terus menerus sesuai dengan kemaslahatan
manusia karena berubahnya gejala sosial kemasyarakatan. Oleh karena kemaslahatan
manusia itu menjadi dasar setiap hukum, maka sudah menjadi kewajiban apabila
terjadi perubahan hukum karena disebabkan berubahnya zaman dan keadaan serta
pengaruh dari gejala-gejala kemasyarakatan itu sendiri. Hal itu sesuai dengan
kaidah yang berbunyi:
Taghayyurul
ahkaa mi bitaghayyuril azminati wal amkinati
“Perubahan hukum itu berdasarkan perubahan
zaman, tempat, dan keadaan.”
Hukum tidak akan
dapat dilaksanakan dengan baik, bila tidak ada yang (http://muslimah.or.id/fikih/nikah
sirri.html)
bertanggung
jawab untuk mengendalikan, melaksanakan dan menegakkannya. Lantas siapakah yang
dapat mengendalikan hukum dengan baik? tentu saja, tidak lain adalah
pemerintah. Oleh karena itu, telah diyakini bahwa kepemimpinan adalah bagian
dari tujuan yang paling urgen dalam agama. Khalifah berfungsi sebagai pengganti
kenabian dalam menjaga agama dan urusan dunia. Orang muslim belum lepas
tanggung jawab, sehingga mereka menyatukan langkah dan kesepakatan untuk
menunjuk seorang pemimpin yang memimpin mereka berdasarkan Kitabullah. Maka
wajib untuk menegakkan kepemimpinan dengan ruh islam dan bertanggung jawab
untuk merealisasikannya. Sebab Allah telah mengisyaratkan dengan firman-Nya:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah
Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri diantara kamu.”(QS. An-Nisa:
59)
Konteks ayat ini menjelaskan bahwa Khitab pada ayat ini bersifat umum,
yang mengharuskan untuk melaksanakan beragam amanat. Diantara amanat tersebut
adalah hukum perkawinan. Sehingga umat wajib menyampaikan amanat pada yang
berhak menerimanya dan meluruskan jalan orang yang berusaha menegakkan secara
benar. Uraian di atas bila dicermati, maka melaksanakan hukum perkawinan yang
tertuang dalam UU No. 1 tahun 1974, dikuatkan dengan Keputusan Presiden RI No.
1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI), dan disertai pula dengan
Peraturan Menteri Agama (PMA) tentang kewajiban PPN, wakil PPN, dan pembantu
PPN, menjadi wajib hukumnya untuk diikuti dan dilaksanakan dengan
sebaik-baiknya. Jadi jelaslah bahwa UU No. 1 Tahun 1974, KHI, atau PMA,
sangatlah bermanfaat bagi semua pihak. Dengan demikian tidak menimbulkan
kekacauan dalam masyarakat karena dapat diketahui. Mana yang kawin secara sah
dan mana yang kawin secara tidak sah. Sebab dengan semakin maju ilmu dan
teknologi serta budaya manusia, tertib administrasi dan tertib hukum mutlak
diperlukan. Tertib administrasi ini telah disyariatkan oleh Islam. Hal ini
sesuai dengan Firman Allah SWT:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah
kamu menuliskannya.”(QS. Al-Baqarah: 282)
Memang ayat di atas tidak menyinggung pencatatan pernikahan, namun secara
substansi ayat di atas memerintahkan untuk mencatat dan tertib administrasi
dalam setiap urusan. Dalam kaidah hukum islam pencatatan perkawinan dibuktikan
dengan akta nikah, yang mana manfaatnya sangat jelas untuk mendatangkan
kemaslahatan bagi tegaknya rumah tangga. Sejalan dengan prinsip:
Darr’ul mafasidi aula min jal bil masoolih
“Menolak kemudlaratan lebih didahulukan dari
pada memperoleh kemaslahatan.”
Pemerintah telah memerintahkan setiap perkawinan itu dicatat oleh PPN,
sehingga mempunyai kekuatan hukum dan bukti yang kuat berupa surat nikah. Maka wajib bagi umat mentaati
ulil amri sebagaimana perintah Allah dalam surat an-Nisa ayat 59 di atas.
Karena surat
nikah mempunyai kekuatan alat bukti, Maka sebagai alat pembuktian, sama dengan
alat bukti yang terjadi paa zaman Rasulullah SAW, seperti alat bukti berupa: bayyinah
(sesuatu yang dapat membuktikan suatu kebenaran dan menampakkannya), sumpah,
saksi, buku tulis, dan lain-lain. Konskwensinya adalah barang siapa mengajukan suatu
kasus dengan dasar suatu hak, ia diwajibkan membuktikan kasus itu dengan bukti.
Sebaliknya barang siapa mengajukan peristiwa-peristiwa guna membantah hak orang
lain, ia diwajibkan juga membuktikan kasus tersebut.
Taat kepada ulil amri jelas wajib dilaksanakan sejauh tidak bertentangan
dengan agama. Hal ini sesuai dengan kaidah:
Attasorru ful imamu ‘alarra ‘iyyati manuu
thu bil maslahati
“kebijaksanaan
Imam (pemimpin) terhadap rakyatnya itu harus dihubungkan dengan kemaslahatan”.
Kaidah diatas
memberikan pengertian, bahwa setiap tindakan atau kebijaksanaan (http://muslimah.or.id/fikih/nikah
sirri.html)
para pemimpin
yang menyangkut dan mengenai hak-hak rakyat dikaitkan dengan kemaslahatan
rakyat banyak dan ditujukan untuk mendatangkan suatu kebaikan sebab pemimpin
adalah pengemban amanat penderitaan rakyat (umat) dan untuk itulah ia sebagai
petunjuk dalam kehidupan serta harus memperhatikan kemaslahatan.
Pengakuan
resmi (penulisan akad) dengan arti tercatat resmi dikantor catatan sipil adalah
perkara yang diwajibkan oleh undang-undang, untuk menjaga akad ini dari
pengingkaran dan penipuan setelah dilaksanakannya, baik itu dari pihak
suami-istri
(Musbikin, Imam. 2001: 29)
maupun pihak
luar mereka berdua. Hal ini diberlakukan di Mesir dalam undang-undang Pasal 99
tentang tatacara Mahkamah Syari’yah, adalah undang-undang yang dikeluarkan
tahun 1931 nomor 78 yaitu, “Mengabaikan dakwaan perkawinan atau salah satu hak
yang berhubungan dengan suami-istri tatkala terjadi pengingkaran, kecuali
dengan adanya dokumen resmi perkawinan.”
Dan jelaslah bahwa perkawinan yang
dilakukan dibawah tangan tidak diakui secara resmi. Maka inti dari persoalan
ini adalah, apabila akad perkawinan dibawah tangan adalah akad yang mencukupi
rukun dan syarat yang ditentukan dalam syariat, maka konsekuensi syariatnya
seperti hubungan suami-istri, nasab keturunan, dan warisan, akan berjalan tanpa
ada dokumen resmi, hanya saja pengakuan resmi ini adalah suatu perkara yang
lazim untuk membuktikan perkawinan tatkala melakukan pengaduan ke hadapan
hukum, apalagi tatkala diingkari oleh salah satu pihak dari suami-istri atau
tentang warisan setelah mereka. Karena telah tertera dalam undang-undang bahwa
pengurusan dakwaan perkawinan tatkala terjadinya pengingkaran harus dengan
adanya dokumen yang resmi di Mesir tentang nasab keturunan, begitu juga kepada
institusi-institusi yang resmi di Mesir lainnya tidak akan menerima akad
perkawinan sebagai sandaran kecuali tercatat resmi. (Syakir, Muhammad Fu’ad. 2002: 51-52)
Perkawinan yang
tidak tercatatkan berdampak sangat merugikan bagi istri dan anak-anaknya. Bagi
istri, dampaknya secara hukum adalah dianggap bukan istri yang sah karena tidak
memiliki Surat Nikah sebagai bukti hukum yang otentik. Akibat lanjutannya,
istri tidak berhak atas harta gono-gini jika terjadi perceraian karena secara
hukum perkawinan tersebut dianggap tidak pernah terjadi. Selain itu, istri juga
tidak (http://muslimah.or.id/fikih/nikah
sirri.html)
berhak atas
nafkah dan warisan dari suami jika terjadi perceraian atau suami meninggal
dunia. Selain berdampak hukum, perkawinan bawah tangan juga membawa dampak
sosial bagi perempuan, yakni sulit bersosialisasi di masyarakat karena mereka
dianggap sebagai istri simpanan atau melakukan “kumpul kebo” (tinggal serumah
tanpa menikah). Adapun dampaknya bagi anak adalah status anak yang dilahirkan
dianggap sebagai anak tidak sah. dan dalam akta kelahirannya akan dicantumkan
“anak luar nikah”. Anak pun hanya
memiliki hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya, dan tidak mempunyai
hubungan hukum dengan ayahnya (Pasal 42 dan 43 UUP).
Tentu saja pencantuman anak luar nikah akan berdampak buruk secara sosial
dan psikologis bagi sianak dan ibunya. Selain itu, ketidakjelasan status anak
di muka hukum akan mengakibatkan anak tidak berhak atas nafkah, warisan, biaya
kehidupan dan pendidikan dari ayahnya. Menurut Abu Hasan al-Mawardi dan Ibn
Taimiyah, pemerintah dalam hukum Islam memiliki kewajiban melindungi warganya
dari berbagai bentuk eksploitasi dan perlakuan yang merugikan dengan
menciptakan peraturan-peraturan yang dapat menimbulkan ketentraman dan
kedamaian. Sebagai ulil amri, pemerintah mempunyai dua fungsi utama, yaitu fi
harasah al-din (menjaga agama) dan fi siyasah al-dunya (mengatur urusan dunia).
Dalam pelaksanaan kedua fungsi tersebut, pemerintah wajib ditaati oleh
warganya, sepanjang tidak mengajak kepada kemungkaran dan tidak pula
mendatangkan kemudharatan. Dalam konteks pelaksanaan kedua fungsi inilah
pemerintah dibenarkan membuat perundang-undangan dalam bidang Siyasah
al-Syar’iyyah.
Siyasah al-Syar’iyyah adalah seperangkat aturan yang dibuat pemerintah
dalam rangka menunjang keberlakuan ajaran al-Qur’an dan Sunnah Rasul, meskipun
belum pernah dirumuskan oleh ulama sebelumnya. Dalam hal ini, penulis sepakat
dengan metodologi kaidah fiqh yang berhubungan dengan pencatatan pernikahan.
Dalam menjaga
keturunan, Islam mensyari’atkan pernikahan, selain mensyari’atkan pernikahan,
Islam juga mengakomodir terhadap hal-hal yang menyempurnakannya, yaitu adanya
pencatatan. Dengan melihat kemaslahatan yang terkandung dalam pencatatan nikah sebagaimana yang telah disebutkan
di atas, maka pencatatan nikah dianggap sebagai sebuah kebutuhan primer dalam
pernikahan, sebab (http://muslimah.or.id/fikih/nikah sirri.html)
pernikahan tanpa
disertai catatan nikah tidak diakui oleh pemerintah. Maka hukum pencatatan
tersebut termasuk bagian dari nikah. Hal itu sesuai dengan kaidah ushul fiqh yang berbunyi:
lil
wasail hukmul maqashid
“bagi
medium (orang yang menjadi perantara) hukumnya menjadi sama dengan hal yang
dituju”
Dengan melihat konteks ini, wajib bagi pemerintah untuk mendukung adanya keputusan
pencatatan pernikahan. Karena terbukti hukum positif tidak mengakui adanya
pernikahan yang tidak dicatatkan. Dengan konskwensi sama seperti halnya orang
yang tidak nikah dalam hal harta warisan, nasab, dan sebagainya. Hal itu sesuai
dengan kaidah:
“tasharroful imam ala ra’iyati manuthun bil mashlahatil”
“kebijakan pemerintah disesuaikan dengan
kemaslahatan rakyat.”
Keterangan di atas menguatkan
pandangan umum bahwa pernikahan bukan hanya sekedar menyalurkan nafsu seksnya
semata, tetapi pernikahan itu berakibat ke masa depan. Akibat itu adalah tumbuh
generasi penerus atau keturunan. Apabila keturunan yang lahir dari
sebuah pernikahan yang tidak diketahui oleh orang lain, maka tanggung jawab dan
jadi beban siapa keturunan tersebut bila orang yang menikah tersebut lari dari
tanggung jawab. Bukankah perbuatan itu akan membebani orang lain yang
semestinya bukan tanggung jawabnya.
Nikah sirri
hanya mewariskan beban moral yang amat berat bagi si istri dan anak-anaknya
bila sang suami sudah tidak senang lagi dengan si istri yang dinikah sirri. Jangankan
nikah sirri, nikah resmi saja yang pelaksanaannya disaksikan orang banyak, serta
membaca shighat ta’liq talak dihadiri para kyai dan PPN lengkap
dengan wakil PPN dan pembantu PPN yang mungkin sampai hari ini usia perkawinan
telah mencapai puluhan tahun, hanya karena cekcok rumah tangga, istri dan anak-anaknya
bisa terkatung-katung. Nafkah dan biaya pendidikan anaknya sama sekali tidak
pernah (http://muslimah.or.id/fikih/nikah
sirri.html)
diperhatikan
lagi, dalam kasus seperti ini yang bersangkutan (sang istri) dapat meminta
perlindungan hukum ke Pengadilan. Dan Pengadilan dapat memberi putusan tentang
pemberian nafkah, biaya pendidikan anak-anak dan lain-lain.
Namun siapa yang bisa menjamin tentang keputusan tersebut, bilamana si
suami tetap tidak mau memperhatikan, sementara hak miliknya dijual habis. Si
suami hidup dikota besar yang sulit dilacak keberadaannya. Apalagi dalam kasus
nikah sirri, jika ini terjadi kemana meminta pertanggungjawaban? Dalam nikah
sirri memang tidak ada batasan sampai kapan beban penderitaan yang harus
ditanggung oleh si istri dan anak-anaknya, bila si istri mau menuntut kepada Pengadilan,
Pengadilan mana yang bisa menceraikannya? apabila minta cerai kepada suaminya,
mungkinkah dikabulkan jika kenyataannya suami masih cinta, walaupun sisuami
sudah tidak menghiraukan lagi. Lebih-lebih bila sang suami ingin membuat sengsara
si istri karena dianggap sudah menyakitkan, ditambah lagi si suami menggunakan
sifat angkuhnya, berkata: “Kamu selamanya tidak akan bisa lepas dari
kekuasaanku karena hak talak ada di tanganku, sedangkan aku tidak akan
mentalakmu”. Jika suami bersikap demikian, sementara perempuan menganggap masih
menjadi istri suaminya meskipun tidak ada tanggung jawab sama sekali dari
suaminya. Jadi jelaslah bahwa nikah sirri akan membawa beban moral dan
penderitaan bagi si istri.
4. Aspek Hukum positif
Hukum positif adalah hukum yang berlaku sekarang bagi suatu masyarakat
tertentu dalam suatu daerah tertentu. Singkatnya hukum yang berlaku bagi suatu
masyarakat pada suatu waktu dalam suatu tempat tertentu. Sedangkan arah tujuan
utama diciptakannya hukum ini banyak dikomentari oleh para ahli hukum,
misalnya, menurut Subekti: Hukum mengabdi pada tujuan Negara yang pokoknya
mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan pada rakyatnya. R. Wirjono Prodjodikoro
menyatakan tujuan dari hukum adalah mengadakan keselamatan, bahagia, dan tata
tertib dalam masyarakat itu. Menurut Sobhi Makmassani, Hukum bertujuan menarik
kemanfaatan bagi kepentingan manusia dan menghindarkan perbuatan yang merugikan
serta membahayakan kepentingannya.
Dari beberapa
pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan umum (http://muslimah.or.id/fikih/nikah sirri.html)
menetapkan hukum
adalah untuk mewujudkan kemaslahatan bagi seluruh umat manusia karena suatu
yang ada di dunia tidak lain adalah hanya untuk kepentingan manusia. Dalam draf
Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang
hukum materil Peradilan Agama antara lain mencantumkan sanksi poligami dan
nikah sirri. Dalam Pasal 143 disebutkan, barang siapa melakukan pernikahan
tidak di hadapan pejabat pencatat nikah(sirri) akan didenda Rp 6 juta atau
hukuman paling lama 6 bulan penjara. Denda dan ancaman hukuman yang sama
berlaku bagi barang siapa melakukan poligami tanpa izin pengadilan dan tidak
menceraikan istri di depan pengadilan (Pasal 146). Sementara pada Pasal 147
menyebutkan, barang siapa menghamili perempuan belum menikah dan menolak
mengawininya di depan pengadilan akan dipidanakan paling lama 3 bulan penjara. RUU
tersebut akan menjadi pelengkap bagi UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. UU
itu menjadi UU terpisah untuk memenuhi pengaturan lebih lanjut mengenai
perkawinan dalam hukum Islam. RUU tersebut menuai kontroversi, alasan yang
mendukung RUU tersebut adalah Nikah sirri sering dijadikan selubung bagi
perselingkuhan (poligami liar), di samping itu tidak ada perlindungan hukum
bagi istri dan anak.
Sementara alasan yang menolak RUU tersebut adalah nikah sirri sah secara
agama, serta sanksi pidana terhadap pelanggaran administrasi merupakan
kebijakan yang tidak proporsional dan berlebihan. Dalam masalah pemidanaan ini,
banyak pakar hukum pidana yang memberikan kriteria bagi kriminalisasi,
sebagaimana dalam simposium Hukum Pidana Nasional di Semarang tahun 1980 yang
di antaranya adalah:
1. Perbuatan
tersebut tidak disukai/tercela di mata masyarakat;
2. Perbuatan
tersebut menghambat cita-cita bangsa dan berbahaya bagimasyarakat;
3. Perbuatan
tersebut dapat merugikan orang lain dan berpotensi mendatangkan korban;
4. Harus
memperhitungkan prinsip biaya dan hasil (cost and benefit principle)
Dari beberapa
kriteria tersebut, nikah sirri telah memenuhi syarat untuk dikriminalisasi.
Kriminalisasi adalah suatu proses dimana perbuatan yang semula bukan tindak
pidana kemudian diancam dengan pidana dalam Undang-Undang. Pertanyaannya adalah
apakah nikah sirri sebagai pelanggaran administrasi bisa dipidana? Hampir (http://muslimah.or.id/fikih/nikah
sirri.html)
seluruh
peraturan perundang-undangan yang bersifat administratif (dariUU sampai Perda)
selalu disertai dengan sanksi pidana, baik penjara, kurungan, atau denda.
Tujuannya adalah agar peraturan tersebut dapat berlaku secara efektif dan
memiliki kekuatan memaksa. Karena untuk efektifitas pemberlakuan hukum
administrasi, maka sering disebut ”hukum pidana administratif” yang masuk
bagian hukum pidana khusus. Penggunaan sanksi pidana dalam hukum administrasi
sudah lazim dilakukan.
Setiap bagian akhir dari produk perundang-undangan hampir selalu
dicantumkan sub bab 10 tentang “ketentuan pidana”. Dari tahun 1985-1995 sudah
lebih dari 31 macam UU yang menggunakan sanksi pidana, sebab akan terasa hambar
jika suatu produk UU tidak mencantumkan ketentuan pidana. Dari beberapa uraian
di atas, dapat disimpulkan bahwa nikah sirri dipandang dari aspek hukum
positif, tidak mempunyai kekuatan hukum, nikahnya tidak diakui, keturunannya
atau anaknya tidak mempunyai ayah yang sah (hanya mempunyai hubungan hukum
dengan ibu yang melahirkannya), pernikahan dapat dibatalkan oleh Pengadilan Agama,
bahkan bisa dikenai sanksi pidana. Disamping itu juga, nikah sirri merepotkan
masyarakat sekitarnya yang membuat beban pada istri dan anaknya di masa yang
akan datang serta memberi beban pemerintah pada umumnya.
PENUTUP
KESIMPULAN
Nikah sirri yang sering juga disebut dengan nikah di bawah tangan adalah
nikah yang hanya mengutamakan pemenuhan syarat dan rukun menurut agama saja.
Dan tujuan dari nikah sirri sendiri adalah untuk menolak pergaulan bebas,
artinya dengan melakukan nikah sirri hubungan yang biasanya berlangsung sebelum
pernikahan dan boleh jadi dilarang oleh agama, bisa berubah menjadi halal.
Namun pernikahan ini tidak memiliki kekuatan hukum apabila suatu saat ada pihak
suami-istri yang dirugikan.
Syari’ah mengajarakan agar seseorang patuh dan memprioritaskan hukum
Islam bersamaan dengan menghormati kesepakatan bersama, sebagaimana yang
tercantum dalam UU No. 1 Tahun 1974. Karena jika Islam itu sebagai ad-dien yang
sempurna, maka pemenuhan kewajiban kepada Allah mestinya harus sejajar dengan
pemenuhan atas janji- janji sesama manusia. Sebab bagaimanapun juga putusan
yang termaktub dalam undang-undang merupakan keputusan bersama. Maka pelanggaran
terhadap janji itu berarti khianat dan perbuatan yang tidak konsisten berarti
juga dapat dianggap menentang ajaran Allah. Pelarangan nikah sirri, selain
karena melanggar undang-undang adalah nikah sirri mempunyai implikasi yang
sangat kompleks. Yang meliputi implikasi sosial, psikologis, dan juga yuridis.
Tetap membudayanya nikah sirri di masyarakat ini disebabkan karena kurang
pahamnya mereka dengan makna nikah resmi (tercatat) dan makna nikah sirri (yang
tidak tercatat), serta implikasi yang dapat ditimbulkan dari nikah sirri itu.
DAFTAR
PUSTAKA
Musbikin,
Imam. 2001. Qawa’id Al-Fiqiyah. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Syakir,
Muhammad Fu’ad. 2002. Perkawinan
terlarang. Jakarta:
CV. Cendekia Sentra Muslim.
Tihami,
dkk. 2009. fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar